Sumber gambar : https://landlordnews.co.uk

Hari ini menjadi hari yang cukup melelahkan. Selain harus bangun lebih pagi, saya juga harus membantu panitia terkait pelaksanaan turnamen futsal di tempat  kerja. Memang hanya sekedar membantu untuk kelengkapan administrasi dan peserta. Tapi tetap saja, kepala saya sempat merasa pusing, karena harus membagi konsentrasi antara kunjungan salesman serta mengontak para peserta yang datang terlambat.

Dengan puluhan peserta yang mengikuti, hal ini juga menantang saya dan rekan untuk lebih terampil dalam memberi layanan. Dan untung saja, kami bisa melewatinya. Meski sempat kewalahan untuk membuatkan kopi dan melayani pengunjung toko juga.

Dari banyaknya peserta yang datang siang tadi, ada sosok dari masa lalu yang kembali muncul. Lagi-lagi dia teman SMA saya. Dulu kami duduk di kelas yang sama saat masih duduk di kelas 1, hingga kami terpisah ketika dia memilih jurusan IPS untuk digeluti dua tahun berikutnya.

Selain kini tampak lebih dewasa dengan tumbuhnya kumis, posturnya pun kini telah banyak berubah. Saat SMA, saya masih ingat jika tinggi badannya hanya berkisar di bahu saja. Dengan suaranya yang cempreng dan tubuhnya yang mungil. Dia sering terlihat seperti bocah SMP jika dibandingkan dengan teman sebayanya.

Namun setelah 5 tahun berselang, tingginya kini sudah menyamai tinggi saya. Sungguh pencapaian yang luar biasa, hingga saya berceloteh tentang resepnya dan ditanggapi tawa olehnya.

Dengan ragam perubahan di fisiknya, nyatanya dia masih bogleg yang dulu. Meski kini suara dia tak lagi cempreng, dia masih saja memanggil saya dengan sebutan “cung”. Julukan ini konon diambil dari bentuk hidung saya yang memang sedikit mancung. Saya pun tak mau kalah, saya menyapa balik dia dengan julukan semasa sekolah dulu, yakni bogleg. Tapi percayalah nama asli dia lebih bagus dari ini.

Liburan natal lah rupanya yang membuat dia bisa ada di kampung dan ikut berpartisipasi mewakili desa di turnamen tadi siang.

Sempat beberapa kali kami mengobrol seputar pekerjaan, hingga ada beberapa pernyataan dari dia yang membuat saya terngiang.

“Kamu kok bisa betah cung, kerja di kampung,” tanyanya pada saya.

“Ya beginilah gleg,” jawab saya.

Duh, gini ya cung. Kita sekolah sampai jenjang SMA, cuman bisa kerja begini,” keluhnya.

Setelah dia sempat bercerita tentang pekerjaannya sebagai distributor sparepart motor di Jakarta Pusat.

“Ya, syukuri aja gleg. Mungkin kita perlu kuliah biar kerja lebih enak. Tapi kan yang penting sekarang kita bisa sedikit mandiri,” menjawab keluhannya sembari berlaga bijak, walau di hati juga kadang merasakan hal yang sama.

“Ya juga cung, yang penting sekarang kita usaha sendiri dan bisa buat nyukupin kebutuhan kita ya,” timpalnya.

Percakapan singkat dengan si bogleg tadi membuat saya tersadar. Bahwasanya bukan hanya saya saja yang masih sering merasa tak nyaman dengan apa yang jarusnya dijalani. 

Padahal saya sering mengira teman saya bogleg, sudah bahagia bekerja di Ibukota berkat postingannya di media sosial yang jarang sekali berkeluh kesah. Tapi nyatanya dia juga manusia biasa, sama seperti saya, kadang kami lebih melihat sesuatu yang lebih indah tanpa tahu proses untuk mencapainya. Ah, manusia memang selalu tak pernah merasa puas dan kadang kurang bersyukur.