Setengah empat sore, saya putuskan untuk ke kemar mandi guna membersihkan badan yang sudah dipenuhi keringat. Awalnya saya sempat ingin menunda, karena kabut dingin yang sudah datang membuat tubuh semakin malas bersentuhan dengan air.

Tapi karena merasa tak nyaman, saya pun bulatkan tekad untuk mandi. Selesai mandi tubuh pun terasa segar. Meski saya sedikit menggigil karena kedinginan, tapi ini lebih baik daripada harus melanjutkan pekerjaan dengan bau badan yang menyengat.

Tanpa berselang lama setelah saya mengganti baju, kabut tebal yang telah menutup ratap sekeliling toko rupanya telah mengundang temannya, sang hujan, untuk kembali mengguyur bumi.

Sembari duduk menunggu ponsel yang dicharge, saya pun mulai lagi aktifitas di toko yang nampak seperti kota mati. Selain sepi karena karyawati lain yang sedang libur menjenguk kerabatnya yang baru melahirkan, kala hujan datang toko juga mendadak menjadi sangat sunyi. Pelanggan memang akan sungkan keluar rumah ketika cuaca seperti ini.

Bingung dengan apa yang harus dilakukan, saya pun terpaksa bermain dengan ponsel sembari menchargenya. Sebuah kebiasaan buruk yang hanya mempermudah ponsel rusak.

Di tengah guyuran hujan yang terdengar keras, nampak ada dua pemuda dari desa seberang yang ingin bermain futsal.

Namun, setelah hampir setengah jam menanti di lapangan. Rupanya rekan mereka yang lain tak juga menampakkan batang hidungnya. Aliran hujan yang semakin deras rupanya menjadi penyebabnya. Hingga kedua pemuda ini pun memutuskan untuk pulang.

Sebelum mereka pergi, mereka melintasi jendela di pinggir toko yang memungkinkan mereka ke arah luar. Seolah melihat sesuatu yang aneh, mereka justru termenung dan mengurungkan niat untuk pulang.

Selang beberapa waktu, mereka berteriak memanggil saya untuk ikut menyaksikan apa yang terjadi di luar sana.

Rasa penasaran yang turut mengahmpiri membuat saya tergiur untuk mendekati mereka. Dari jendela dengan balutan stiker berwarna hijau, kuning, dan merah saya melihat sebuah fenomena yang cukup mengerikan.

Sungai yang ada di seberang toko rupanya meluap tanpa kendali. Dua aliran air yang datang dari arah Timur, tepatnya dari lereng Gunung Slamet nampak berseteru menuju ke arah rongga jembatan yang tak mampu lagi memberikan mereka jalan. 

Alhasil sungai yang biasanya mengalir di bawah ladang para petani, kini naik keatasnya hingga menghempas tanaman daun bawang yang kebetulan sedang banyak ditanam oleh petani disini. 

Ini bukan kali pertama bagi saya untuk melihat sungai dengan nama Kali Keruh tersebut kelebihan kapasitasnya. Beberapa bulan lalu, peristiwa serupa juga sempat terjadi. Namun, tidaklah separah ini hingga mengundang warga tertarik pula menyaksikannya.

Berhasil menghantam banyak ladang petani yang membuat mereka rugi, semua ini diduga lantaran karena hujan lebat yang telah berlangsung hampir satu jam lebih, yang membuat volume air naik secara drastis.

Disisi lain, mengingat di daerah kami area hutannya sebagian sudah dijadikan lahan pertanian. Daerah resapan airnya pun kini mulai berkurang, lebih lagi banyak petani yang menggunakan plastik mulsa untuk menutupi lahan mereka agar tak mudah ditumbuhi rumput liar dan minim serangan hama. Sehingga kala hujan turun, air hujan kini dengan mudahnya mengalir tanpa lagi ada penahan.

Peristiwa tadi sungguh membuat kami, selaku warga di sini tersadar. Kami rupanya makhluk lemah yang tiada berdaya kala alam menunjukan amarahnya. Kami perlu merefleskikan diri atas apa yang telah kami lakukan pada alam. Ya Allah.. ampuni kami

Tetapi dibalik dampak buruk luapan sungai tadi, saya secara pribadi juga berharap, khususnya bagi para petani di Desa Igirklanceng dan sekitarnya, agar mereka lebih peka terhadap alam. 

Hal ini bisa ditunjukkan dengan dikuranginya penggunaan plastik mulsa di lahan pertanian yang berada di area hutan. Memang ini membuat pekerjaan lebih ringan karena lahan tak mudah ditumbuhi rumput liar, tapi ini juga memicu dampak yang lebih buruk kala hujan lebat seperti ini.

Iklan