Sumber gambar : klikbontang.com

Baik ayah ataupun ibu, dua orang penting dalam hidup saya ini sama-sama datang dari keluarga besar. Mereka tumbuh bersama kakak atau adik mereka di keluarganya masing-masing.

Jumlah anak dari keluarga ibu sebenarnya banyak, karena nenek pernah menikah lebih dari sekali. Tapi khusus di Desa Igirklanceng, jumlahnya ada lima, dengan masing-masing 3 anak perempuan dimana ibu sebagai si bungsu , dan dua kakak lelaki. Sedangkan dari keluarga ayah, ada 4 anak laki-laki dengan status ayah sebagai anak kedua, yang menjadi bukti cinta kakek dan nenek.

Dengan saudara lebih dari dua, karakter dan pembawaan paman / bibi pun beragam. Terutama jika saya melihat keluarga dari ibu saya, kakak-kakak ibu punya sifat serta kedekatan yang berbeda meski mereka lahir dari rahim yang sama.

Kakak pertama ibu, adalah yang tertua dari semuanya, beliau sosok yang cukup bijak karena jarang sekali berkonflik dengan adik-adiknya, kecuali dengan adik nomor tiga dimana hubungan mereka terkesan dingin dan hanya manis di luar saja. Entah karena masalah apa di masa lalu sehingga keduanya nampak tak begitu bersahabat.

Tapi konflik besar justru pernah terjadi dengan ibu dan istri paman saya, tepatnya dengan kakak ipar ibu yang ke empat. 

Keduanya merupakan dua wanita dengan karakter yang bawel dan cenderung ceplas-ceplos, istilah jawanya ala. Keduanya juga punya bakat yang sama dalam berdagang. Dan kesamaan ini pula yang sering menjadikan mereka sering cek cok dengan alasan persaingan.

Hubungan mereka sempat dilanda kebisuan kala diketahui jika kakak ipar rupanya juga menyusul membuka usaha warung. Dengan karakter ibu yang kadang cenderung agresif serta defensif, ibu pun tak kuasa menahan rasa gelisahnya tentang adanya pesaing baru yang justru datang dari keluarganya sendiri.

Ah, tapi tetap yang namanya keluarga. Meski dilanda situasi yang tak mengenakan, mereka pada akhirnya tetap kembali terikat.

Seperti yang saya lihat kemarin sore, dimana ibu dan bibi nampak kembali akur berjalan bersama ke kondangan di desa seberang. Sebelum bergegas kesana, mereka sempatkan pula untuk berbelanja di toko dan tak terlihat sekali rasa canggung di antaranya. Dari penuturan ibu, mereka kini justru bekerja sama dalam berdagang sayur-mayur.

Melihat mereka kembali rukun sungguh saya merasa bahagia. Karena sebagai seorang yang plegmatis, saya sendiri sangat tak nyaman ketika melihat suatu pertentangan yang terjadi di keluarga. 

Meski perbedaan pendapat ataupun persaingan sudah sewajarnya akan selalu ada. Tapi jika atas nama keluarga, tentu kita perlu sedikit mengalahkan egoisme kita. Daripada hubungan kita dengan keluarga sendiri justru tak harmonis.

Terima kasih bagi yang sudah menyempatkan membaca coretan receh tak jelas ini. Tak ada niat saya untuk menyebarkan aib keluarga di sini. Saya hanya ingin sedikit berbagi cerita. Heee

Iklan