Meja kasir saya

Hari Kamis, 14 Mei 2015, sekitar pukul 3 sore, tepatnya selepas saya mandi dan berganti pakaian. Saya yang tengah asyik bermain dengan laptop tiba-tiba tertegun kala mendapat panggilan telepon yang tak terduga.

Nomor asing rupanya memanggil, dan dari nomor itu keluarlah suara seorang perempuan. Suara tersebut rupanya milik bu Hj. Suniyati, istri dari salah satu orang besar di desa Igirklanceng, Bapak H. Wajri.

Lewat sambungan telepon tersebut, dia rupanya berniat baik dengan menawarkan pekerjaan pada saya, yang kala itu tengah dalam masa menganggur, setelah sempat merantau ke ibukota dan tak betah, lalu gagal dalam membuka usaha dan sempat frustasi pula.

Kebetulan, saat itu dia baru saja membuka usaha berupa sebuah toko, yang dibangun di sebelah lapangan futsal yang telah lebih dulu didirikan beberapa tahun sebelumnya.

Dengan latar belakang saya yang memang tertutup dan jarang keluar rumah (baca kuper), inilah yang mungkin menjadi alasan beliau mempercayakan saya untuk mengelola tokonya. Selain di tengah masyarakat, pun saya tak punya catatan buruk terkait kriminal. Di antara teman sejawat, saya juga satu-satunya yang tak disibukkan dengan aktifitas bertani.

Dan kala tak punya pilihan lain di tengah kebimbangan saya saat itu, ditambah saya tak enak terus-terusan menganggur. Saya pun mengiyakan tawaran yang beliau berikan.

Tak selang lama setelah panggilan diakhiri, anak sulung dia bernama Faozan menjemput saya dengan sepeda motor Vixion modifannya dan mengantarkan saya tokonya, yang sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah.

Toko tempat saya bekerja

Di toko bernama Bukit Sayur Mart tersebut, dua sosok yang kini jadi atasan saya pun nampak tengah sibuk, Bu hajah dan putri keduanya sedang mengurus putri sulungnya yang baru berumur satu tahunan, sedangkan sang Ayah tengah sibuk berkaraoke ria.

Namun, ketika saya datang, mereka nampak menyambut kehadiran saya dengan hangat. Tanpa banyak percakapan, mereka pun langsung memberikan penjelasan akan kewajiban saya, yang mana harus menggantikan tugas karyawan sebelumnya, yang hanya dikontrak selama satu bulan saja.

Saya cukup antusias, karena ini bisa menjadi ladang bagi saya untuk belajar hal baru sembari mencari uang. Lebih lagi, si anak sulung juga tak segan untuk diajak bekerja sama dan membimbing saya dalam banyak hal, termasuk pengoperasian mesin kasir hingga mengatur timer untuk futsal.

Tapi bukan tanpa tantangan, selain si bungsu hanya membantu sesekali karena sibuk sekolah, saya ternyata punya tanggung jawab lain dimana mereka mengharuskan saya tidur sekaligus di tempat kerja. Dalam kata lain, saya harus berjaga di malam hari pula.

Namun, karena saat itu saya tak berpikir jauh, saya pun tak menolak. Saya justru berpikir jika orang di desa belumlah segila mereka-mereka yang di kota besar yang mau menghalalkan segala cara, termasuk merampok dan membunuh demi meraih pundi rupiah.

Mungkin terlalu naif, keputusan ini bahkan sempat pula mengundang kontroversi di antara teman saya. Karena saya dianggap bodoh ketika harus menjaga harta milik orang lain siang hingga malam dengan segala resikonya. Mereka sempat membandingkan pekerjaan mereka di ladang, yang kadang justru membuat saya sempat minder.

Namun, bak “Anjing menggongong Kafilah pun berlalu”, di tahun ketiga ini, saya tetap masih bekerja di sini hingga dua kali saya berganti rekan karyawati. Dan alhamdulillah saya masih diberi kesehatan jasmani dan rohani hingga saat ini.

Ya meski tak selalu berjalan mulus, karena pernah pula terjadi hal yang tak mengenakan, salah satunya peristiwa kemalingan, yang beberapa kali terjadi dan secara tak langsung menjatuhkan reputasi saya. Dan menyesakkan lagi, salah satu pelakunya adalah seorang teman seangkatan saya yang berpura-pura menginap dan melakukan aksinya saat saya telah tertidur.

Dan kasus pencurian terakhir yang membuat saya trauma adalah saat Ramadan tahun lalu, dimana di tengah malam seseorang mendobrak pintu lantai bawah dan mencuri beberapa slop rokok di hari-hari akhir menjelang lebaran. Ditutup pula wajahnya dengan sarung, yang membuat kami susah mengenalinya di rekaman CCTV.

Saya sempat shock hingga beberapa hari karena ternyata tempat yang telah menjadi rumah kedua saya ini belumlah aman. Namun saya juga bersyukur, karena di malam itu tak terjadi apa-apa pada saya. Kecuali omelan atasan yang menganggap saya lalai dan saya pun mengakui itu.

Dan kejadian tersebut tak hanya memberi peringatan pada saya agar lebih berhati-hati, tapi juga memberikan hikmah terhadap pemilik hingga mereka menambah keamanan dengan membuat pintu tambahan.

Jika diceritakan semua, masih banyak hal lain yang sebenarnya membuat tak nyaman di sini. Antara lain waktu pribadi yang berkurang dengan hanya ada libur sebulan sekali, kesepian karena hiburan sangat minim, bekerja ganda karena harus mengurus toko dan lapangan futsal juga, ruang kamar yang dingin, bertemu dengan ragam pembeli yang membuat saya harus mengelus dada, dan hal pribadi lainnya yang tak bisa saya ceritakan.

Tapi tak hanya itu, berkat di sini pula saya ternyata belajar banyak hal, dari seorang yang amat tertutup mencoba bersikap ramah dan lebih terbuka, belajar bagaimana bekerja sama dengan rekan, belajar mandiri dengan mencicil motor sendiri, serta yang terpenting belajar bertanggung jawab atas amanah seseorang yang dipercayakan kepada saya. Bukan sesuatu yang mudah, namun sejauh ini saya terus berusaha.

Dan andai Allah SWT punya rencana lain dengan memberi jalan rejeki di tempat lain, saya hanya bisa berharap, jika apa yang telah saya lewati di sini bisa membuat saya lebih dewasa dan juga lebih bijak. Terutama dalam mengolah emosi dan pola pikir saya di umur yang menginjak hampir seperempat abad ini.

Mungkin inilah renungan singkat saya di tahun ke-3 saya sebagai karyawan toko. Suka duka yang ada di sini biarlah menjadi bagian catatan kehidupan yang mungkin kelak akan saya ceritakan kepada anak cucu.

Terima kasih telah membaca.